Tuesday 27 October 2015

HUKUM ACARA PERDATA

Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Sumber Hukum Acara Perdata
a.      Pengertian Hukum Acara Perdata
Pengertian hukum acara perdata menurut pendapat para ahli sebagai berikut :
1.      Abdul Kadir Muhammad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.[1]

2.      Wirjono Projodikoro
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[2]

3.      Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah :
-          Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.
-          Hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa sera memutusnya dan pelaksanan daripada putusannya.[3]

4.      Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata adalah Kesemua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.[4]

Jadi, Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara beracara perdata di pengadilan dengan proses yang diawali dengan diajukannya gugatan hingga pelaksanaan putusan hakim demi menjamin terwujud dan ditaatinya hukum perdata materiil menjadi kenyataan.

b.      Tujuan Hukum Acara Perdata
1.      Mencegah jangan terjadi main hakim sendiri (eigenrichtig)
2.      Mempertahanakan hukum perdata materiil
3.      Menjamin dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
Sehingga setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.

c.       Fungsi Hukum Acara Perdata
Fungsi hukum acara perdata yaitu mencegah terjadinya eigenrichting, sehingga tuntutan hukum harus sesuai dengan prosedur (due process of law).
d.  Sumber Hukum Acara Perdata[5]
Pada zaman Hindia Belanda:
a.      (RV) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat R.V (Stb 1847 No. 52 dan Stb 1849 No. 63). Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa (pedoman jika diperlukan) (reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering)=== golongan Eropa
b.      HIR (Herzeine Indlandsch Reglement)===golongan Bumiputera daerah Jawa dan Madura
c.       RBg (Reglement voor de Buitengewesten)=== golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura.



Saat Ini:
a.      Het Herziene Indonesisch Reglement, disingkat H.I.R atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbaharui, disingkat (R.I.B) Stb. 1941 No. 44. ketentuan ini berlaku untuk pengadilan di daerah Jawa dan Madura.
b.      Rechtsreglement Buitengewesten, disingkat R. Bg atau Reglement untuk daerah seberang disingkat R.D.S Stb 1927 No.227. ketentuan ini berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura
c.       Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-undang Hukum Perdata ttg pembuktian dan daluarsa
d.       Wetboek van koop Handel en Faillissements Verordening (WvK), Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan.
e.       UU No. 20 Tahun 1947, ketentuan yang mengatur tentang upaya banding untuk daerah jawa dan Madura.
f.        UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan yang mengatur tentang upaya banding untuk daerah Jawa dan Madura.
g.       UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya.
h.      UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang sudah dirubah denhan UU No. 5 tahun 2004 tentang MA.
i.        UU No 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kehakiman
j.        UU No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
k.       Yurisprudensi.
l.        SEMA
m.    Hukum Adat
n.      Doktrin

d.      Sejarah HIR[6]
Perancang H.I.R. adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia, yaitu Jhr. Mr. H.L. Wichers. Karena beliau diberi tugas merencanakan sebuah Reglement tentang administrasi polisi, acara perdata, dan acara pidana bagi golongan Indonesia oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tepatnya pada 5 Desember 1846.

Tahun 1847 rancangan selesai dibuat, tetapi J.J. Rochussen mengajukan keberatan yaitu pada Pasal 432 ayat (2) yang membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata untuk golongan Bumiputera menggunakan hukum acara perdata diperuntukkan untuk golongan Eropa. Rancangan itu terlalu sederhana karena tidak dimasukkannya lembaga-lembaga intervensi, kumulasi gugatan, penjaminan dan rekes civil. Akhirnya ditambahkan suau ketentuan penutup yang bersifat umum yang kini menjadi pasal 393 H.I.R. yang termuat dalam bab ke 15.


Sebelum tanggal 5 April 1848 hukum acara perdata yang digunakan di pengadilan Gubernemen bagi golongan Bumiputera untuk kota-kota besar di Jawa adalah BrV (hukum acara bagi golongan Eropa). Untuk luar kota-kota besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819-20.

Pada tanggal 5 April 1948, rancangan winchers diterima oleh gubernur Jenderal dan diumumkan dengan Stbl. 1848 No. 16 dengan sebutan Het Inlands Reglement (I.R.) dan mulai berlaku pada tanggala 1 Mei 1848.

Setelah melakukan perubahan dan penambahan maka rancangan itu ditetapkan dengan nama Inlandsch Reglement (IR) yang ditetapak dengan Stb 1848-16 dan disahkan dengan firman Raja No. 93 pada tanggal 29 September 1849 dengan Stb 1849-63. Oleh karena pengesahan ini, sifat H.I.R. menjadi Koninklijk besluit.

Tahun 1927 diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yaitu hukum acara perdata bagi golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura. Sebelumnya berlaku peraturan tentang susunan Kehakiman dan kebijaksanaan Pengadilan berupa Stb 1847 -23.

Pada Tahun 1941 terjadi perubahan nama I.R. menjadi HIR (Herzeine Indlansch Reglement) dengan Stb 1941-44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada saat ini dengan Pasal 1 UUD 1945 yang telah diamandemen,  HIr dan RBg masih berlaku sampai saat ini. Setelah negara Indonesia merdeka dengan terjemahan H.I.R. yang telah dilakukan, maka H.I.R. disebut juga R.I.B. (Reglemen Indonesia Baru).

e.      Asas-Asas Umum Hukum Acara Perdata[7]
1.      Hakim Bersifat Menunggu
Prakarsa untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi kalau tidak ada tuntutan hak atau gugatan, maka tidak ada pengadilan perdata. Sehingga hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.

2.      Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif, di mana ruang lingkup/hal pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.

Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. karena hakim selaku pemimpin sidang harus aktif, memimpin pemeriksaan perkara.

3.       Sifat Persidangan Yang Terbuka
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum, bahwa setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Bilamana hakim lupa mengucapkan sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan batal demi hukum. kecuali undang-undang menentukan lain persidangan dapat dilakukan dalam pintu tertutup.

4.      Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak wajib diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama.

5.      Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan yang dimaksud itu adalah sebagai pertanggungjawaban hukum kepada rakyat, karena itu memiliki nilai obyektif.

6.      Berperkara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara perdata dikenakan biaya. Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara dengan cuma-cuma.

7.      Tidak ada keharusan mewakilkan
RIB tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung di hadapan para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya jika dikehendakinya.





DAFTAR PUSTAKA


------, UUD 1945 dan Amandemen, Fokusmedia, Bandung, 2009.

------, UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, 2009.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.


Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta,1988.

Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009.

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.


R. Subekti, Hukum Acara Perdata,  Bina Cipta, Bandung, 1982.


R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.



Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.


Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.





[1]Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
[2] Wirjono Projodikoro, Hukum Acara di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta,1998, hlm.2.
[4] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 1.
[5] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.7
[6] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hlm. 7
[7] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 10.

No comments:

Post a Comment