Tuesday 27 October 2015

HUKUM PERIKATAN

Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi pengetahuan mengenai mata kuliah hukum perikatan. Hukum perikatan ini sendiri merupakan mata kuliah yang sangat disegani di kampus saya, bukan karena mata kuliahnya melainkan karena dosennya :v sangat sulit untuk mendapatkan nilai B apalagi A pada mata kuliah ini di kampus saya karena dosen pengajar mata kuliah ini sangat menuntut keseriusan belajar serta pemahaman mahasiswa dalam terhadap materi-materi yang telah diberikan pada semester sebelumnya yang mempunyai kaitan dengan mata kuliah hukum perikatan ini. Baiklah tidak usah panjang lebar, langsung saja masuk pada materinya, cekidootttt...


Dalam buku III KUH Perdata mempergunakan judul tentang Perikatan, namun tidak ada satu pasal pun yang menerangkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Menurut sejarahnya “VERBINTENIS” berasal dari kata perkataan Perancis “Obligation” yang terdapat dalam code civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “Obligato” yang terdapat dalam hukum Romawi Corpus Iuris Civilis, dimana penjelasannya terdapat dalam Institutiones Justianus.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, dan juga merupakan suatu hubungan hukum antara dua orang misalkan A berhak menuntut sesuatu kepada B dan B berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut tersebut bisa disebut Kreditor dan Pihak yang wajib memenuhi tuntutan menuntut bisa disebut Debitor. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber penting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Sumber-sumber yang tercakup dalam satu nama, yaitu undang-undang, diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang saja, dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir ini diperinci pula, yaitu dibedakan anatara perbuatan melawan hukum.
Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di Negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya. Perbuatan Melawan Hukum disini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai, Konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa Negara atau yang disebut dengan “onrecht matige overheidsdaad”juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan hukum yang juga berbeda.
Perjanjian merupakan hal yang selalu terjadi dalam praktek peralihan hak atas tanah yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Dalam hal ini suatu perjanjian dapat dibuat oleh para pihak yang akan membuat suatu perjanjian, menentukan suatu perjanjian itu sesuai dengan kesepakatan yang mereka sepakati secara bersamaan. Berbeda dengan Hukum Benda mempunyai suatu sistem yang tertutup, sedangkan sistem perjanjian menganut sistem yang terbuka, artinya bahwa sistem tertutup adalah bahwa peraturan-peraturannya terbatas pada ketentuan mengenai benda sehingga bersifat memaksa, sedangkan perjanjian memberikan kebebasan untuk membuat bentuk perjanjian.
Mengingat bahwa perjanjian memiliki sifat yang terbuka, sehingga pihak yang bermaksud untuk membuat suatu perjanjian dapat membuat perjanjian sesuai dengan keinginan yang mereka kehendaki bersama dan perjanjian tersebut dengan sendirinya akan menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, asalkan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan norma-norma sebagai peraturan yang hidup di dalam masyarakat. Hal tentang perjanjian dan pembatasan-pembatasannya telah diatur dalam buku III KUH Perdata dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat membuat suatu perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Dalam hukum perjanjian dikenal juga mengenai asas konsensualitas yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah sejak diawali kesepakatan kedua belah pihak untuk membuat suatu perjanjian. Asas tersebut diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian harus memiliki 4 unsur yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu perjanjian, 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Adanya objek tertentu, dan yang terakhir 4. Suatu sebab yang halal, syarat nomor 1 dan nomor 2 merupakan syarat subyektif yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat obyektif yang jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Jual beli (menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanjia untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanjia untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Perkataan jual beli menunjukan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu ”Verkoopt” (menjual) Sedang yang lainnya ”koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa perancis disebut hanya dengan ”Vente” yang juga berarti penjualan, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan ”Kauf” yang berarti pembelian. Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Konsensualisme berasal dari perkataan “Konsensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya setuju dan sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah sama, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah sama dalam kebalikannya. Misalnya yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu baran asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si pemilik barang.
Sebagaimana kita ketahui hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus sebagaimana dimaksud diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya.
Sudah jelas kiranya bahwa asas konsensualisme itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatknya undang-undang.pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak-pihak yang menawarkan (melakuakan offerte) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensus. Kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kehendak kepadanya.
Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik diantara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.
Oleh karena itu maka sudah tepat bahwa adanya perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya sering dikonstruksikan oleh hakim. Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak.
Asas konsensualisme yang terkandung dalam pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1 tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian . kalau kita ambil perjanjian yang utama yaitu jual beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusan dalam pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam yaitu :
Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (misalnya Jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam pakai);
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (misalnya perjanjian untuk membuat suatu bangunan, dan lain sebagainya);
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan; dan lain sebagainya);
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada pembeli.
Oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam penyerahan barang itu.
Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu, hal ini diatur dalam pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan balik nama menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620, pasal-pasal mana berbunyi sebagai berikut. Pasal 616 penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan         dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620. Pasal 620 dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukan dalam register.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan.
Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai tanah dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sudah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 tahun 1960).
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 1961 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria dan kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa Jual Beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “Cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibat melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan Surat disertai dengan endosemen.
Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut harus berupa sejumlah uang meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjian menjadi “tukar menukar” atau kalau harga itu berupa suatu jasa, perjanjian akan menjadi suatu perjanjian kerja dan begitu seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Tentang macamnya uang dapat diterangkan bahwa meskipun jual beli itu terjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harganya itu ditetapkan dalam mata uang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkan dalam mata uang apa saja.
Dalam hukum perjanjian dikenal juga mengenai asas konsensualitas yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah sejak diawali kesepakatan kedua belah pihak untuk membuat suatu perjanjian. Asas tersebut diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian harus memiliki 4 unsur yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu perjanjian, 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Adanya objek tertentu, dan yang terakhir 4. Suatu sebab yang halal, syarat nomor 1 dan nomor 2 merupakan syarat subyektif yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat obyektif yang jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Sepakat yaitu mereka saling setuju untuk mengadakan pokok-pokok dalam perjanjian, dengan adanya timbal balik misalnya dalam jual beli penjual menyepakati untuk memberikan tanahnya dan pembeli menyetujui untuk memberikan sejumlah uang. Cakap dimaksudkan seseorang sudah dikatakan dewasa, sehat pikirannya sehingga cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu perjanjian yaitu orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh dalam pengampuan. Adanya obyek tertentu merupakan syarat yang harus jelas mengenai apa yang menjadi obyek dalam perjanjian yang akan dibuat, dan yang terakhir suatu sebab yang halal merupakan syarat dimana apa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarat.
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang memikul risiko atas barang tersebut.
Persoalan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“Overmacht”, “Force Majeure&rdquo



 . Dengan demikian maka persoalan tentang resiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tidak disengaja dan tak dapat diduga.
Dalam bab mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat subyektif sebagaimana sudah kita lihat, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat diminta pembatalan (Canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap) dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subyektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum tehadap dirinya, misalnya seorang yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggungjawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seorang yang telah memberikan persetujuaan karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapa diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas yaitu : Paksaan, Kekhilafan dan Penipuan. Yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang tanggannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan dibawah sepucuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuan (perizinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberi akan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu harus suatu perbuatan yang terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan, yang hanya dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak khikaf mengenai hal-hal tersebut, ia akan memberikan persetujuan. Kekhilafan juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk minta pembatalan perjanjian. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehinga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun tidak dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan perjanjiannya.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensi tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjian. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Meminta pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu lima tahun. Waktu mana mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan.
Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara kedua menunggu sampai ia digugat didepan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Didepan sidang pengadilan itu, ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyek perjanjian atau karena ia ditipu. Dan didepan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan.

Sumber :
Pieter Latumenten, Bahan Seminar Pemahaman Perubahan Undang-undang Jabatan Notaris Melalui Pendekatan Ilmu Hukum, Makalah, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bandung Barat, 29 Januari 2014.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,Jakarta.
Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Pendekatan Kontemporer), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,Jakarta,

No comments:

Post a Comment